Gelap di Kesunyian

Berjalan sendirian, menyusuri waktu yang semakin gelap untuk dituju. Bersanding dengan rasa penasaran akan hal yang ada di depan, pernikahan atau mungkin kematian? 

Seringkali kepala menghayal hal-hal indah, hingga lupa jika kenyataan menyakitkan pun sudah disiapkan. Barang sejenak lupa bisa tiba-tiba tumpah air mata. Jauh di belakang, hanya menyisa bayang-bayang yang tak pernah bisa diulang. Beberapa hadir sebagai penyesalan, sebagian yang lain justru yang hari ini disyukuri. Semua punya hikmah dan pelajarannya sendiri-sendiri.

Jika boleh meminta, cukuplah segala duka itu mendera. Goresan-goresan menyakitkan hanya tak kelihatan. Kehilangan demi kehilangan sudah cukup tubuh ini telan, beberapa rasa sakit justru membekas lama tak juga pergi dari dada dan kepala.
.
Orang-orang yang dulu ada di hari-hari kebanyakan telah pergi tanpa pesan dan janji untuk kembali, beberapa justru pergi untuk waktu yang lama, atau bahkan selamanya. Hari-hari sepi, malam-malam pernah dilelapkan dengan dada penuh lebam.

Detik-detik berlalu tak pernah mau menunggu, sesekali tersaji rasa nyeri, beberapa tersenyum bahagia. Sapa-sapa yang jadi bisu, tawa-tawa penuh hujan.

Semakin lelah kaki melangkah, semakin ringkih raga dipaksa pulih. Barangkali hidup memang perihal pahit demi pahit, bahagia hanya sementara. Yang lama terasa justru luka menganga.

Yang pernah di sisi harus terganti atau mungkin ia harus abadi dalam bentuk puisi. Yang pernah mendekap erat kini jadi terhalang sekat. Tawa riang masa kanak-kanak jarang sekali tampak, menjadi dewasa memang harus pandai bersandiwara.

Bisa jadi, tawa adalah air mata. Dan air mata adalah darah bercampur amarah.

Pagelaran, 05 Januari 2022 (01.00)

Komentar

Postingan Populer