Sepucuk Surat Kepada yang Telah Hilang

Surat dikirim:
Hai, lama tak terdengar kabar? Baik-baik sajakah di sana? Lama tak bertegur sapa. Rindu rasanya membagi kisah yang dialami hari ini. Tapi, kita memang tak seperti dulu lagi. Kau sudah tak lagi ingin mengajakku berbicara tentang apa pun. Bahagia dan duka yang dialami hanya kita rasakan masing-masing, tanpa boleh bertukar cerita dan menertawakan apa yang membuat kau atau aku berduka.

Berapa ribu detik kita telah dipisahkan? Tanpa isyarat apa pun. Belukar rindu semakin menjalar kemana-mana. Aku seperti ranting usang yang menolak untuk jatuh, dan pasrah terkapar di tanah. Aku ingin tetap kokoh seperti ini, menunggu daun baru tumbuh dan menghijaukan kembali kelam yang makin hari, ia makin jauh meninggalkanku pergi.

Dalam surat ini, aku ingin menceritakan segala hal semenjak kau tak ada. Oh iya, apa kau sudah lupa dengan janji kita tempo hari? Saat kau berjanji untuk tak pernah pergi. Meski, seberat apa pun ujian yang tiba-tiba datang. Meski akhirnya, kau menyerah di tengah jalan, dan berhenti untuk memperjuangkan. Tak apa, kita dipisahkan bukan karena tak lagi saling mencintai. Kita dipisahkan karena ada beberapa hal dalam hidup yang memang sulit untuk disatukan.

Setelah kau tak ada, aku lebih suka menyendiri. Bersama angin yang datang, terkadang ia hanya membuat nyeri, sebelum akhirnya pergi lagi. Orang-orang yang datang, tak pernah membuatku ingin berjuang. Rasanya sudah lelah mengejar yang aku pikir itu hanya bayang-bayang, seperti akan terengkuh namun ia segera menjauh.

Yang bisa aku lakukan sekarang hanya menyapamu lewat doa. Semoga Tuhan menjagamu dari apa pun yang membuatmu goyah untuk tetap menjalani hidup. Kau harus tetap kuat, bahagia dan ceria. Meski kita telah tahu, duka bisa datang kapan saja. Meruntuhkan apa pun yang telah susah payah kita bangun.

Jangan lagi menangis untuk hal yang tak pernah bisa kembali. Tersenyumlah, dan katakan inilah kehidupan. Aku tahu, kau lebih tangguh dari itu.

Surat diterima:
Hai, syukurlah kau tanya kabar. Kabarku baik tapi hatiku tidak. Lebih tepatnya lelah. Aku lelah memendam lara ini tanpa sanggup membaginya denganmu. Ada rindu yang terus memaksaku untuk merelakan. Kau tahu, hampir seperti kuncup bunga yang hanya mampu bertengger di antara ilalang yang tumbuh liar.

Entah berapa purnama aku pergi. Mungkin sudah mencapai puluhan hitungannya. Terus memendam rasa keingintahuan mengenai kabarmu. Saat ini apa kau tahu, ada bilik menganga dalam hatiku yang dulu kau tempati. Rasanya seperti berjalan sebelah kaki, menggapai dengan satu tangan. Begitulah aku sekarang.

Kau bertanya apa aku ingat sebuah janji yang kuucap dulu? Tentu saja, janji yang terpaksa aku ingkari karena aku telah lelah memperjuangkannya. Walaupun rasanya lebih sakit daripada waktu ketika bersamamu.

Aku selalu bertanya pada angin tentang keadaanmu setelah kepergianku. Tapi dia hanya menjawab sebatas hembusan. Nyatanya bukan pada angin kau bercerita. Hai, siapa temanmu kini? Apa bulan atau bintang? Alam pun tak mau memberikan jawabannya padaku.

Terima kasih untuk doa yang selalu kau panjatkan untuk kebahagiaanku. Untuk senyuman yang kau titipkan lewat awang-awang. Aku berharap kebahagian yang sama kau dapatkan. Walau kau telah menutup hati untuk orang-orang yang datang.
Tetaplah tegar seperti dulu, walaupun kehidupan sering mempermainkan perasaan. Aku tahu, kau lebih mampu daripada aku.

Surat dikirim:
Syukurlah jika keadaanmu baik-baik saja, karena itu yang sangat aku harapkan. Seorang yang berada di sampingmu pasti memperlakukanmu dengan baik. Maaf, aku akhirnya tak bisa menjadi seorang yang bisa berada di sampingmu saat ini. Setiap detik, setiap menit, sampai akhir hayat nanti. Tapi aku yakin, Tuhan telah menuliskan yang terbaik untuk hidupmu. Dan selamat untuk kehidupan barumu yang aku yakin pasti lebih bahagia dari sebelumnya. Aku tahu kau seringkali merindukan kita, tapi aku juga tahu perihal sifatmu yang telah mahir meredam setiap bara tetap bergejolak dalam dada. Tanpa pernah bermuara menjadi sebuah kata. Dan memang seharusnya seperti itu.

Ribuan purnama memang telah kita lewati, dengan pagar berduri sebagai batas agar aku tak pernah pergi dari sini, setiap kali ingin keluar dari semua ini. Aku justru terjebak pada hal-hal yang akhirnya bengis melukai. Sosokmu masih sering aku cari dari bunga lain, tetapi semakin aku mencari sosok itu. Semakin aku tersesat di taman yang kau beri nama ingatan.

Aku tahu, kau merasa terluka karena mengingkari janjimu sendiri. Kau mungkin menyesal karena mengambil keputusan disaat emosi mengurung nurani. Rindumu akhirnya dilenyapkan amarah, gejolak yang akhirnya membuat kita berpisah, dan aku yang akhirnya harus tabah terima kalah.
Bukan bulan atau bintang temanku saat ini. Ia hanya seekor kunang-kunang lucu yang setia terbang melewati kelopak mata.

Semakin lama ia terbang, semakin perih menghujam ketika petang beranjak malam.
Bukan inginku menutup hati untuk yang lain. Hanya saja, ruangan yang telah kau tinggalkan dan berantakan ini belum sempat aku rapikan. Aku tak ingin buru-buru melenyapkanmu dari ruangan yang perlahan mulai berdebu. Biar saja, kebetulan yang akan mempertemukan dengan sosok lain, bersedia menempatinya, merapikan bongkahan perasaan yang masih berserakan.

Oh iya, akhir-akhir kau sering datang pada mimpi. Entahlah itu isyarat atau hanya sekedar penghias tidur. Namun yang pasti, aku bahagia ketika kau tiba-tiba berkunjung dan tiba-tiba ada di sana.

Karena hanya di dalam mimpi, aku mampu melihatmu seutuhnya. Meski saat membuka mata, pedih terasa karena kau, tak pernah bisa untuk kembali ada. Bahkan, hanya sekejap nyata.

Surat diterima:
Tak pernah aku sesali bertemu cinta sepertimu, walau akhirnya tak pernah bermuara pada kebahagiaan. Saat aku memutuskan menyerah sekelebat hati menolak pasrah, tapi raga tak berani memutar arah. Jalan di depanku telah dibangun oleh cinta orang tuaku, melihat lelehan bening di pipi mereka tiangku patah, tak ada lagi penyangga hati yang telah lemah. Apalagi menoleh padamu yang kian tertinggal di belakang.

Jangan lagi kau kembali pada taman yang kau sebut ingatan, di sana tak kan ada bunga yang kau cari. Hanya ada ilalang yang merambat kusebut kenangan. Berjalanlah ke depan, walau terasa enggan tapi itulah pilihan terbaik yang kau punya.

Di sini, di tempat aku berada. Hanya mampu menatap bulan dan bintang dari jendela kaca. Dia yang saat ini bersamaku telah membangunkan sebuah istana megah dengan menara yang begitu tinggi. Tapi tanpa daun pintu. Kau tahu, rasanya lebih menyiksa daripada ribuan duri.

Kutulis surat ini ketika senja baru beranjak. Apa kau ingat senja terakhir yang kita lalui? Bahkan tangis ini belum kering sempurna. Sepertinya aku akan melalui senja-senja berikutnya dengan hal yang sama. Menerima takdir yang telah di tulisNya.
Kenanglah aku hanya dalam mimipimu. Selebihnya lupakan. Karena aku takut hanya hayalan yang akan kau temukan. Dan kenyataan yang menyakitkan.




Komentar

Postingan Populer