Sekilas Tentang "Sayap-Sayap Patah" Kahlil Gibran

Setelah menghatamkan Sayap-Sayap Patah kurang lebih tujuh jam dan kurang dari 200 halaman, saya hanyut dalam cerita pilu dan menyakitkan.

Dalam novel sastra tersebut benang merah yang saya cerna itu ternyata cuma sedikit tapi sangat rumit; ketemu sahabat dan ternyata di rumah tersebut ada kawan Ayahnya Gibran sewaktu masih remaja, setelah berbicara panjang lebar dia meminta Gibran untuk datang ke rumah yang kebetulan memiliki anak simata wayang, ia adalah Selma Karamy seorang wanita cantik tanpa Ibu, yang membuat Gibran jatuh cinta. 

Namun akhir kisah cinta mereka harus dipenuhi drama karena sang Pendeta kejam dan sombong mengutus anak buahnya datang menemui Ayah Selma Karami dan membawanya bertemu pendeta, tujuannya untuk meminta putrinya agar menikah dengan keponakan sang pendeta yang telah memiliki beberapa istri. Dengan alur yang apik, perasaan pembaca seolah dibentur-benturkan oleh syair-syair indah dalam ceritanya, dengan penuh pertimbangan dan alasan keamanan keluarganya, akhirnya Selma menerima keadaan menyakitkan karena harus dinikahkan paksa dengan lelaki yang tak pernah ia cintai.

Selma hidup dalam penderitaan karena kerinduan terhadap Gibran, kekasihnya. Kemudian Selma harus menerima kenyataan pahit lain jika Ayahnya harus meninggal. Selma masih sering bertemu Gibran secara sembunyi-sembunyi karena tak kuat menahan rindu dan penderitaan di istana megah milik pendeta. Setelah sekian lama menikah akhirnya Selma melahirkan seorang anak setelah sebelumnya mendapat cemoohan karena tak kunjung memiliki anak, dan endingnya bayi dan  Selma (sang Ibu)  meninggal sesaat setelah melahirkan.

Begitu banyak sajak penderitaan yang keren dan dalam khas Kahlil Gibran yang menghubungkan ke dalam benang merahnya.

Layla-Majnun berakhir dengan tidak saling memiliki karena tidak adanya persetujuan orang tua, hingga Layla meninggal setelah sekian lama merasakan penderitaan, Majnun atau Qais menjadi gila karena cinta yang tak bisa dipaksakan pun akhirnya meninggal di makam Layla setelah beberapa hari menangisi kepergian kekasihnya. Kahlil Gibran pun menangis dan ambruk di makam Selma setelah bertahun-tahun sama-sama menderita dalam kerinduan dan kehilangan.

"Sayap-sayap Patah adalah karya terindah Gibran, mengisahkan takdir yang mematahkan sayap-sayap cintanya. Kasih tak sampai pada gadis Libanon yang kemudian menikah dengan pendeta demi keamanan keluarga dan dirinya. Merupakan rentetan yang mengharukan, mendalam, dan penuh makna. Kahlil Gibran melukiskan duka cita percintaannya dengan penyelesaian yang khas; kemurungan puitis, kehalusan budi, dan kedalaman falsafi, liris mengiris, sendu yang seakan-akan mengatasi kodrat manusiawi."

Pelajaran yang saya ambil ialah; tak ada orang yang benar-benar siap dengan perpisahan dan kehilangan, tapi tak ada orang yang bisa memaksakan takdir. Memiliki perasaan yang sama tidak jadi jaminan, untuk tidak dipisahkan. Dan tangisan kadang menjadi sebuah perayaan untuk luka yang tidak bisa diungkapkan oleh kata-kata. 

"Salahlah orang yang mengira bahwa cinta itu datang karena pergaulan yang lama dan rayuan yang terus menerus. Cinta adalah tunas pesona jiwa, dan jika tunas itu tidak tercipta dalam sesaat, ia takkan tercipta bertahun-tahun, atau bahkan seumur hidup." 
~Kahlil Gibran (Sayap-Sayap Patah)

Komentar

Postingan Populer