Percakapan Perpisahan

"Kalau kamu sayang. Kamu bisa yakinin mamah dan bapak aku engga? Dengan cara kasih mereka kepastian."

"Bisa, tapi bisakah tunggu sebentar lagi? Biar aku selesaikan pendidikanku dulu, satu semester lagi. Aku janji bakal bawa orang tuaku dan menikahimu. Gimana? Aku engga mau seperti teman-temanku. Tak ada yang selesai."

"Oh ya sudah, aku akan tunggu kamu sampai pendidikanmu selesai. Kamu semangat ya kuliahnya, biar bisa cepet lulus. Aku sayang kamu."

"Iya, aku akan semangat dan aku janji beberapa bulan ke depan aku akan wisuda."

2 bulan kemudian......

"Kita mending udahan aja, kamu engga pernah bisa yakinin orang tuaku, mereka terus menanyakan kepastian padaku. Sementara aku cuma bisa jawab nanti dan nanti. Mereka menekanku untuk berpisah denganmu dan menikah dengan lelaki lain! Ada beberapa pria yang mengajakku menikah tapi aku menolak karena aku mau nunggu kamu, tapi orang tuaku mereka sudah engga bisa nunggu lagi. (Nangis sesenggukan)"

"Loh, aku kan sudah pernah bilang sama mereka. Jika aku mau selesaikan kuliahku dulu. Mereka pun setuju, kenapa jadi seperti ini? Tapi jika memang itu yang terbaik engga apa-apa. Silakan saja kamu nikah sama orang lain. Aku engga mau kamu menderita karena tekanan. Aku engga mau menjadi penghalang bahagiamu. Aku pun ditekan orang tuaku untuk selesai dulu kuliah, aku pernah satu kali gagal kuliah dan mereka engga mau itu keulang lagi. Ini sebentar lagi, aku sudah mulai nyusun skripsi"

"Engga bisa, kita memang lebih baik udahan aja. Percuma aku nunggu seorang yang engga bisa ngasih kepastian!"

"Iya yasudah, aku juga engga akan maksa seorang untuk tetap tinggal. Jika ingin pergi, pergilah."

Seminggu kemudian.....

Dia pajang foto pertunangan meski kepadaku dia mengecualikan postingannya, tapi dia lupa jika kawan kuliahku berteman dengannya dan memberi tahu aku. Sahabat dan keluarganya pun berbahagia, mengucapkan selamat dan mendoakan supaya diberi kelancaran sampai pernikahan.

Di satu malam, tiba-tiba ada pesan masuk dengan nomor baru;

"Hai, apa kabar? Bolehkah kita bertemu sekali lagi. Sekali saja aku janji! Ini untuk yang terakhir."

"Baik, bahkan sangat baik. (Meski dada penuh luka) mau apa ketemu lagi? Kan sudah bertunangan."

"Aku kangen, aku mau melihatmu untuk terakhir kali. Bisa?"

Karena aku pun sangat merindukannya aku menjawab;
"Boleh, sepulang bimbingan aku tunggu kamu di tempat pertama kita jumpa setahun lalu."

"Iya, aku nanti ke sana."

*****

Aku menunggunya di tempat pertama kali kita berjumpa, beberapa menit motor tiba dan menuju ke arahku. Dia datang dengan hijab pemberianku dulu. Cantik sekali dia, dan rasa padanya tetap sama. Tak ada yang berubah. Aku menyayanginya tapi aku tak mau melihat dia menangis setiap hari karena tekanan dari orang tuanya dan harus ribut denganku karena dia juga orangnya ngambekan.

Dia duduk di depanku. Memandang dengan mata yang sembab dan merah, karena semalaman mungkin menangis dan hari itu dia harus menahan air matanya lagi agar tak tumpah. Tangannya merogoh tas, dia mengambil selembar undangan bertuliskan namaku. Dia memaksaku untuk bisa datang di acara pernikahannya. Saat undangan sampai di tanganku. Air matanya tak bisa terbendung lagi, dia menangis dalam diam dan bertanya; 

"Mengapa akhirnya harus seperti ini? Mengapa kita harus berpisah. Aku engga mau ini terjadi, aku sayang kamu! Aku engga mau menikah dengan seorang yang tidak aku cintai!"

Mulutku terkunci, aku membisu, aku tak bisa berkata apa-apa,  Aku cuma membaca namaku di undangan pernikahannya dengan motif bunga undangan itu terlihat sangat menyakitkan.

Dengan mata yang masih basah dia berkata;
"Aku engga bisa lama-lama, aku harus bertemu keluargaku yang lain. Kamu jaga diri baik-baik ya, aku tahu kamu orang baik. Sungguh, aku masih menyayangimu dan engga mau kehilangan kamu. Ini pertemuan kita terakhir, tapi semoga kamu mau dateng di acara pernikahanku nanti. Biar aku bisa meliatmu, sekali lagi meski keadaannya sudah tak pernah lagi sama. Aku sangat senang jika kau bisa datang."

"Aku engga janji, tapi aku usahakan agar aku bisa datang. Terima kasih ya, sudah pernah mau bersamaku. Meski kini, aku kau tinggalkan. Meski semua rencana harus kita gagalkan. Aku tahu ini takdir dari Tuhan, kita hanya harus sampai pada tahap rencana. Kita yang pernah berangan untuk bisa hidup di satu atap, menyiapkan nama untuk anak pertama. Dan berdebat jika tidur lampu harus dimatikan atau dinyalakan. Tapi yasudahlah, ini memang yang terbaik untuk kita. Aku harap, kamu tidak lagi menangis. Aku berdoa semoga pernikahanmu bahagia, tanpa perlu lagi mengingat aku."

"Aku pamit!"

Air mata deras turun dari pipinya. Kita pun berdiri dengan punggung yang saling berhadapan dan melangkah pergi ke masing-masing arah. 


Komentar

Postingan Populer