Ditulis Dalam Keadaan Hampir Menangis

Setelah Bapak pergi, hidupku seperti berubah 180 derajat yang tadinya aku punya peletup semangat, yang tadinya aku punya sandaran saat keadaan merapuhkan, penunjuk jalan saat langkah mulai kehilangan arah, nasehat-nasehat saat diri menemukan salah, kini beliau tiba-tiba pergi untuk selama-lamanya. Tubuhku seperti debu yang diterbangkan angin, tanpa arah dan tujuan. 

Penyakit yang diderita dua tahun itu merenggut nyawanya, beliau melawan sakit dan beberapa bulan bisa sembuh. 

Hari itu, beliau kembali ambruk karena di sini sedang musim flu. Awalnya Ibuku yang kena dan Bapak yang merawatnya, flu itu pun menular pada beliau, Bapak kembali terbaring sakit bersama Ibu. Aku sebagai anak bungsu yang masih tinggal satu rumah merawat mereka berdua hingga Ibu perlahan membaik, tapi tidak denganku. Aku pun terserang flu tersebut dan harus terbaring selama beberapa minggu. Bagiku itu bukan flu biasa, tidak seperti flu yang pernah aku rasakan sebelumnya.

Dua minggu Bapak sakit dan batuk-batuk, tiap malam beliau tak bisa tidur nyenyak karena batuknya, mau dibawa ke rumah sakit tapi beliau menolak dengan alasan; "apa pun yang terjadi mau di rumah saja." beliau mungkin memikirkan keadaan rumah sakit, sedangkan posisi sedang pandemi beliau tak mau jauh dari anak dan istrinya, dirawat sendirian tanpa dampingan kami.

Hari itu beliau mulai muntah darah, beberapa mantri desa dan bidan didatangkan ke rumah untuk memeriksanya namun keadaan tak kunjung membaik, sore hari sebelum beliau pergi. Kami mengundang mantri desa lagi untuk memberikan infusan tapi mantri itu menolak karena harus dengan oksigen, saat itu oksigen sedang langka. Aku mencari dan tak menemukan satupun oksigen tersedia hingga aku memposting di facebook siapa tahu ada yang memilikinya. Tak berapa lama kawanku menelepon jika oksigen ada di temannya hanya jaraknya lumayan jauh dan harganya sedang tinggi. 

Tak apa, selepas magrib aku menuju tempat oksigen berada, dan membawanya pulang. Setelah tiba di simpangan ke rumah aku bertemu banyak tetangga yang berkumpul. Kukira mereka hanya menjenguk Bapak saja, salah satu tetangga menghentikan motorku dan menyuruhku jalan. Motor dan oksiken dibawanya dan aku berjalan ditemani kawan kerjaku, saat kawanku berkata "yang tabah ya" perasaanku mulai merasakan sesak, air mata sudah tak bisa terbendung. Aku tahu jika akhirnya Bapak telah pergi. 

Sesampainya di rumah, Bapak sudah terbaring tanpa nyawa dengan sorban yang mengikat kepalanya. Di sana dadaku seolah dihancurkan oleh ledakan bom, hancur lebur. Sepedih apa pun ditinggalkan nikah aku tak pernah biasa menumpahkan air mata. Namun hari itu, beberapa hari air mata terus turun. Ditambah melihat keadaan Ibu yang harus kehilangan belahan jiwanya, kekasih setianya pergi untuk selama-lamanya, 2 bulan berlalu dan air mata Ibu masih membanjiri pipinya. Kadang Ibu memanggil-manggil Bapak berharap beliau masih ada dan menjawab panggilannya. 

Hari-hari dilalui dengan perasaan rapuh dan seolah kehilangan arah, aku harus berusaha menguatkan hati Ibu. Apa pun yang terjadi, tak peduli kata-kata mereka.

Komentar

Postingan Populer