Beberapa Luka Yang Tak Lekas Mengering

Hari semakin cepat berganti, ada yang harus usang dan berdebu.
Waktu yang berlalu menyisakan kenangan, baik buruk pertemuan dan perpisahan.
Menjadi cerita kehidupan, yang dengan senang atau sedih, gembira atau menangis perih.

Kita telah terbiasa dengan bahasa air mata yang dijatuhkan, kita telah paham pahitnya kehilangan. Sampai kapan?
Lagu-lagu kesedihan terngiang di telinga kita. Mengingat apa yang telah terjadi, namun menolak untuk kembali, beberapa hal memang harus pergi. Tidak untuk menetap di sini, di tempat dulu kau memperjuangkan dengan sepenuh hati, hingga akhirnya kau lupa perihal pahitnya kepergian.

Basa-basi menjadi warna agar ia tetap ada, tapi waktu menjemput paksa apa yang bukan semestinya untukmu, untuk hidupmu.
Ia berlari dan kau terpaksa berdiri dengan duri sebagai alas kaki, ikhlas merelakan, sabar menahan sesak, tabah terima kalah.

Kini menjadi asing, kini semua berbeda, tak seperti dulu saat masih bersama, menjadi bukan siapa-siapanya lagi. Rencana-rencana hanya puisi kesedihan yang seringkali menggantung di pelupuk mata, kala malam kian menghitam, kala deru ombak menertawakan, jika kini kau masih saja betah menikmati kesendirian.

Menatap punggung yang semakin jauh, dan sudah sangat enggan untuk mempedulikan semua kerapuhanmu. Tidak apa-apa, tidak setiap orang bisa punya cerita seperti kisah hidupmu saat ini. Yang bisa dikatakan mati rasa sementara untuk mengenal lagi perihal cinta.

Lukamu terlalu dalam, hingga trauma menjadi hadiah untuk kau lebih berhati-hati dalam memilih untuk menjatuhkan hatimu kembali.

Pepatah lama dan sangat membosankan mengatakan; "setiap pertemuan pasti bersama perpisahan." Dan kita, pada awalnya adalah sepasang yang saling menemukan, saling takut kehilangan. Kemudian kita, pada akhirnya hanyalah sepasang yang saling meninggalkan. Saling melambaikan tangan menuju lain pertemuan, untuk kemudian menyembunyikan tangisan.

Wahai rindu, sungguh, kau memang anjing!


Komentar

Postingan Populer