17 Maret 2019

17 Maret 2019

"Kau berikrar berjanji untuk sehidup hingga mati, dengan pilihan terbaikmu
Melepaskan kita, yg sempat meronta tidak ingin dulu tiada
Tapi waktu, tak pernah setuju. Dengan gagah membawamu bergegas melupakanku
Di sini, sepi mulai hadir. Temani hari2 yg penuh nyeri
Malam yg mengembalikan kepedihan begitu terasa mengerikan ketika terbayangkan"

Dan untuk saat ini kekuatan terbaik ialah datang ke pernikahan orang yg paling dan masih sangat dicintai, meminta maaf pada ibunya, bersalaman di pelaminam, mengucapkan selamat di hari bahagia. Meski, terbata. Ibunya berkata dengan menahan airmata "maafkan, dan tetap sabar. Bukan jodohnya, sudah takdirnya" *dalam bahasa sunda

Sebelum datang, batin berdebat apakah kaki akan kuat melangkah, atau hanya bisa sampai pada depan rumahnya saja. Tapi, keinginan untuk melihatnya sekali lagi, akhirnya mampu menguatkan berjalan.

Selesai bersalaman dan berpamitan, kemudian ibunya menarik untuk jangan buru2 pergi, menawari makan. Tapi aku menolaknya karena tak ingin menahan pedih terlalu lama, "Jangankan makan bu, megang rokok saja aku gemetaran" Menahan pedih menyaksikan dia duduk berdua. Memalingkan muka, sambil sesekali mengusap airmata.

Ibunya menyuruhku menunggu karena ada bingkisan pernikahan yg akan diberikan. Sambil menunggu ibunya masuk saya memperhatikan ia yg sudah bukan miliku lagi, dia tak ingin lagi menoleh karena kutau dia juga menahan sesak yg sama. Dia menundukan kepala, menahan airmata yg sudah ingin tumpah. Menghapus senyum kebahagiaan yg harusnya ia pamerkan pada semua orang.

Kini, semuanya telah hilang, benar2 hilang. Kabarmu sudah bukan lagi yg harus aku tunggu, kau telah sangat sibuk menikmati semuanya dengan suamimu. Tak ada lagi aku dihari2mu, tak harus lagi bertanya "lagi apa? Lagi di mana? Sudah makan apa belum?" Dan hal engga penting lain yg membuat bahagia pada masanya.

Kepergianmu begitu menghancurkanku, membuatku selalu terjaga lebih lama, kantuk yg tiba terhempas begitu saja dengan perasaan nyeri yg terjadi tiap detik, setiap hari ketika aku dipaksa membayangkanmu berdua dengan suamimu. Ya, inilah aku sekarang, berusaha melawan segala kepedihan setelah ditinggalkan. Kebiasaan kita dulu, terpaksa dilenyapkan.

Kadang aku ingin menyapa dan bertanya? Apa kau sudah bahagia? Sudah bisa lupakan semuanya? Makan berduanya enak? Tidur berduanya nyenyak? Gimana rasanya mandi pagi2 bangetnya? Dingin? Pertanyaan2 konyol yg tak akan pernah terjawab selamanya.

Aku tahu, semuanya perlu waktu sebelum aku benar2 mampu untuk biasa saja ketika mengingatmu. Namun, rasa pedih sekarang memang harus tetap aku hadapi dan jalani sendiri, tanpa teman yg mampu mengerti, aku tak ingin buru2 mendekati wanita manapun, karena aku yakin untuk sembuh itu butuh waktu, bukan buru2 mencari pengganti.

Kata orang puncak rindu paling asu itu ketika dua orang tak saling sms, chat, telepon dll. tetapi keduanya diam2 saling mendoakan. Paling tidak, sebelum semua ini terjadi kita pernah bertahan untuk tak saling meninggalkan. Dan sekarang aku sadar, tidak semua kisah akan berujung indah, beberapa perjuangan memang harus berakhir dengan ditinggal nikah. Dan aku pun turut mendoakan, semoga sakinnah, mawadah, warohmah.

*Pagelaran, 17 Maret 2019 hari bersejarah dalam hidup saya, setalah ibuku menghitung sudah 8 kali ditinggal nikah, dan baru kali ini aku berani datang karena memang diundang*

Komentar

Postingan Populer