Kelana

Di kelana, ia tersipu menyaksikan dirinya yang tak kunjung menemukan apa yang diinginkan. Percakapan-percakapan hanya basa-basi sebelum semuanya kembali menemui sunyi.

Ada yang akan berbeda ketika benar-benar sama, puisi tak lagi menemukan indahnya. Kehidupan berubah mencekam ketika arah tujuan tidak lagi satu senyuman. Sehelai musim mempersilakan memilih. Perpisahan atau retakan!

Dada yang mulai memancarkan arogan, tangisan di kejauhan hanya nyanyian untuk sekadar hiburan. Buih-buih yang terbawa angin, hanya angan yang tak pernah jadi ingin.

Kelana itu memutuskan untuk tetap menggiring kakinya sendiri, tak peduli seberapa letih raganya dicabik-cabik hayalan. Ia senantiasa memunguti keajaiban-keajaiban di hadapan ketidakpastian. Menoleh hanya untuk memastikan apa yang ada di belakang sudah benar-benar terlihat samar dalam kepalanya.

Perahu-perahu mulai menepikan dirinya, Kelana pun mendekat untuk mengistirahatkan tubuhnya yang penuh darah. Ia tersenyum oleh candaan gemuruh ombak, sesekali ia dikagetkan takdir yang gemar sekali membuatnya menumpahkan air mata.

"Kemana kau hendak pergi kelana?" Tanya seorang bapak tua.

Kelana pun menjawab, 
"Ia akan pergi pada ketidakpastian kehidupan. Menitipkan raganya pada Tuhan, sebelum nanti dihentikan paksa waktu".

Kelana yang sedari tadi merenungi awan yang terlihat gelap, kembali disadarkan kenyataan. Ia seorang diri sekarang, raga yang keletihan tak membuat langkahnya ingin berhenti berjalan.

Kelana kembali berbenah, membersihkan badannya hanya dengan usapan tangan saja, tangan yang terlihat pucat, pakaiannya terlihat kumuh, tapi tidak dengan hatinya. Ia senantiasa percaya tujuannya akan membuat ia berbahagia selamanya.
.............
Suatu hari, kelana tiba di satu desa yang penduduknya tampak ramah. Ia menyandarkan punggungnya di sebuah tiang warung yang penjaganya cantik jelita dengan pakaian khas pedesaan, kebaya yang dipadukan dengan senyuman merah merona.

Kelana tak peduli, ia masih menghayalkan kehidupannya, dengan memesan secangkir kopi tanpa gula.

Kelana merogoh buku dari dalam tasnya, dan mulai menuliskan jeritan hatinya yang sedari tadi lantang berteriak menolak meneruskan perjalanannya yang entah akan sampai ke mana.

Kelana yang gelisah, kelana yang pasrah.

Kelana mulai menulis:

Jiwaku yang hampa, berjalan entah ke mana
Ragaku murung, dan ibuku telah lama terlarung
Bapak, siapa dia? Aku tak pernah mengenalnya
Aku hanya manusia yang dilahirkan dari rahim air mata.

"Ini kopinya, Mas" tiba-tiba penjaga warung menghentikan kelana menulis. Kelana pun menutup bukunya dan menjawab:
"Terima kasih, Mba"
Kelana bertanya dalam suara yang sedikit parau karena tubuhnya sudah sangat kelelahan:
"Saya, ada di mana ya, Mba?"

Si Mba sambli melangkah masuk menjawab:
"Masnya sedang berada di kampung janda"

Kelana yang heran dengan pernyataan si Mbanya memastikan:
"Kenapa dinamai, kampung apa tadi?"

"Janda" si Mba menjawab sambil tersenyum dan mengipas-ngipas tubuhnya yang terlihat berkeringat.

"Kenapa memangnya, Mas?" Si Mba kembali bertanya.
"Owh, engga apa-apa" ujar kelana, sambil memasukan kembali bukunya.


Setelah di rasa cukup beristirahat kelana kembali melanjutkan tujuan. Entah akan kemana kakinya pergi, sesekali ia bergumam dalam kebisuan. Sesekali ia tertawa dalam pedih luka.

...

Perlahan kelana berjalan menyusuri perkampungan, langkahnya gontai saja tapi tekadnya kuat, meski batinnya rapuh. Di sudut jalan, kelana melihat seorang wanita menggunakan daster berjalan. Perutnya yang buncit membuat kelana yakin, jika dia sedang hamil. Kelana pun menyapa wanita itu:

"Mau kemana, Mba?"

"Si Mba menatap heran karena kelana bukan seorang yang ia kenali" tapi selang beberapa saat si Mba menjawab:
"Saya sedang mencari suami saya"

"Owh, memang suaminya pergi kemana?" kelana bertanya.

"Entahlah, sudah beberapa hari ini dia engga pulang"

"Kelana termenung"

"Masnya mau pergi kemana?" Wanita itu menghentingan lamunan kelana.

"Saya? Engga akan kemana-kemana. Saya hanya mengikuti langkah kaki saya saja." Kelana menyauti pertanyaan wanita tersebut.

"Owh, memang Masnya berasal dari mana?" wanita itu bertanya kembali sambil sesekali mengusap keringat di wajahnya.

"Saya berasal dari rahim seorang wanita yang kini telah tiada" kelana menjawab sambil menatap kejauhan dengan tatapan kosong.

"Iya, saya pamit dulu untuk kembali mencari suami saya, Mas. Barangkali dia berada di rumah kawannya" karena merasa aneh dengan apa yang diucapkan kelana, wanita itu buru-buru pergi.

"Owh iya, silakan. Hati-hati, Mba"

Wanita tadi perlahan meninggalkan kelana, kelana kembali melanjutkan perjalanan sambil bergumam dalam hati.
"Apa arti dari mencintai, haruskah masih mencari. Apa dulu bapakku seperti suami si Mba tadi, yang sering tiba-tiba hilang dan jarang pulang. Adakah kasih sayang itu? Atau hanya patamorgana awal sebelum benar-benar bisa bersama. Ah, bayangan memang tampak menyenangkan".

Kaki kelana terus melangkah menyusuri jalan, angin yang berhembus membuat baju kelana menari-menari. Mulut yang mengering, dan tubuh yang sudah tak terawat makin menegaskan jika kelana seorang yang apa adanya. Ia tak peduli lagi apa kata orang tentang dirinya.

...

Kelana sampai di tepian pantai, ia memandangi deburan ombak, merebahkan badannya di atas pasir menatap langit dan meratap, akan sampai kapan kegelisahan di hatinya berakhir.

Kelana terbangun, kembali merogoh buku dari dalam tasnya. Ia kembali menulis:

" jika petang tak lagi datang, ijinkan aku tetap mengembara di pelataran rumah janda, biar kunikahi mereka".

Tiba-tiba seorang janda berjalan menemui kelana yang sedari tadi sibuk sendiri, janda itu berkata:

"Hai kelana, maukah kau menikah denganku?"

Kelana terdiam, seluruh tubuhnya dingin. Kelana pun menggesek mata dengan tangannya. Dan tiba-tiba ia telah bertualang di mimpinya sendiri.

Setelah lama Kelana membayangkan ia menikah dengan seorang wanita, ia kemudian teringat jika hatinya pernah dipatahkan dengan cukup parah. Selain hubungan orang tuanya yang berantakan. Kelana juga beberapa bulan lalu mengalami perpisahan dengan pujaan hatinya. 

Wanita tersebut dijodohkan dengan pria pilihan orang tuanya, meski masih sama-sama saling menyayangi. Kelana pun mengakui kekalahan dan berusaha mengikhlaskan. Dengan alasan itu juga Kelana memutuskan melakukakan perjalanan. Hati yang hancur menguatkan tekadnya untuk tetap melanjutkan berjalan. Entah, akan sampai ke mana ia melangkah.

Kelana pun menjawab ajakan wanita tersebut dengan suara pelan ia berkata;

"Maaf, aku bukan siapa-siapa, aku tak punya apa-apa. Aku hanya pejalan sendiri tanpa tahu tujuan pasti."

Kelana pun pamit untuk melanjutkan tujuannya. Dengan hati yang sesekali masih merasa tercabik-cabik. Ia mencoba melangkahkan kakinya. Dari kota ke kota, dari pantai ke pantai dan dari hutan ke hutan lainnya.






Terdengar suara keras dari luar kamar yang ternyata adalah ibunya:

"KELANAAAA, BANGUN! BANTUIN NOH BAPAK LU GIRING KAMBING"

Tamat.

*Pagelaran, 08 Januari 2020

Komentar

Postingan Populer