Acak

Setelah beberapa bulan berhenti menulis dan fokus membaca buku. Akhirnya saya mencoba untuk menulis lagi. Entah apa yang ingin saya tuliskan, tidak ada tema soal perasaan atau kenyataan pahit. Saya seolah kehilangan diksi nyeri yang sejak lama saya sukai. Saya hanya ingin menulis karena tak ada lagi yang bisa saya lakukan hari ini. Libur pekerjaan, tutup semua akun. Bukan, bukan mencoba untuk sembunyi. Saya hanya merasa terlalu banyak waktu yang terbuang untuk menyaksikan kepura-puraan yang dipamerkan orang-orang. Mereka ingin tampil keren dan terlihat bahagia di sosial medianya. 

Tak banyak yang bisa saya lakukan, termasuk mengejar jodoh. Di saat kawan-kawan se-angkatan sudah memiliki banyak keturunan saya seperti betah dengan kesendirian. Saya tak bisa membayangkan jodoh saya siapa dan seperti apa, saya tak bisa membayangkan bagaimana tegang dan harunya acara pernikahan. Bukan masalah berarti lagi ketika orang bertubi-tubi bertanya; "kapan akan menikah?"

Pertanyaan yang selalu saya jawab dengan senyuman. Saya bukan Tuhan yang bisa menentukan awal dan akhir kehidupan. Harusnya mereka bertanya pada Tuhan, bukan pada saya. Karena hakikatnya saya tidak mengetahui apa yang ada di depan dan saya memang tak akan pernah ada di sana. Saya masih di sini, hari ini. Dengan kesendirian saya, dengan kebahagiaan saya menjalani hari-hari meski lebih banyak mengurung diri.

Seolah saya harus mengikuti time line kehidupan seseorang. Jika usia segini harusnya sudah menikah, jika usia segini harusnya sudah punya anak, sudah punya gaji besar, sudah punya rumah, sudah punya kendaraan, sudah jadi Bupati, sudah jadi Ketua RT, sudah buka praktik pesugihan. Dan itulah kenyataan, jika banyak orang menjadi juri untuk kehidupan seseorang. 

Di buku Filosofi Teras saya memahami beberapa hal. Jika perkataan orang terhadap saya itu di luar kendali saya. Saya hanya bisa mengendalikan pikiran saya atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. 

Apa sih yang sebenarnya kita cari di dunia ini? Mungkin orang-orang sepakat menjawab "kebahagiaan". Lantas apa yang menyebabkan kebahagiaan itu bisa terjadi? Mungkin mereka akan menjawab uang, popularitas, jabatan tinggi dan lain sebagainya. Tapi benarkah itu sumber dari kebahagiaan? 

Seorang ulama pernah berkata; "hidup itu harus menginginkan untuk tidak banyak keinginan." Karena jika banyak keinginan akhirnya cape sendiri ketika keinginan itu tidak terjadi. Sudahlah, nikmati napas yang masih diberi. Esok lusa mungkin tiada, dan pada akhirnya akan dilupakan juga.

Komentar

Postingan Populer